Friday, December 28, 2007


SEGENAP PENGURUS DAN ANGGOTA KRONIK FILMEDIA MENGUCAPKAN

SELAMAT HARI NATAL 2007 & TAHUN BARU 2008

Friday, December 21, 2007

BERBICARA TENTANG KOMUNITAS FILM DAN FILM INDEPENDEN INDONESIA*

Oleh : Ariani Darmawan**

Lahirnya Komunitas Film di Indonesia
Belakangan ini, pergerakan komunitas film yang telah menyusup hingga ke pelosok Indonesia makin terasa kuat dan tak terpatahkan. Apabila rajin mengamati berita lewat milis perfilman, beberapa bulan sekali kita akan menerima e-mail yang bertajuk 'calling for submission' karya-karya film Indonesia. Beberapa ajang mengkhususkan pemutaran mereka pada film-film pendek, beberapa pada karya dokumenter. Belum lagi ruang-ruang alternatif yang dengan sukarela (dan tak jarang heroik) menyediakan tempat mereka secara gratis bagi para filmmaker muda yang ingin memutar karya mereka dan membuka forum diskusi dengan para penonton secara langsung.

Festival film bergulir, ruang-ruang alternatif semakin gencar menjaring komu-nitas pembuat film (bahkan merekrut mereka dalam satu atap), dan para pembuat film yang kadang hanya bermodal kenekatan, video kamera, dan komputer sebagai alat editing pun semakin berani memproduksi film. Dalam penilaian sebuah karya, mutu film-film tersebut memang kadang tidak memenuhi standar kriteria sebuah film yang baik dan benar, namun bukankah segalanya bermula dari impian dan semangat untuk mewujudkannya?

Apa yang membuat semangat para pembuat film dan komunitas ini tiba-tiba berkobar kembali? Apabila kita runut dari perkembangannya sejak awal, komunitas film independen dapat dikatakan pertama kali muncul tidak lama setelah Indonesia memiliki institusi pendidikan filmnya yang pertama di tahun 1970. Ketika itu Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Lomba Film Mini yang diikuti secara antusias oleh seni-man di luar film maupun para mahasiswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini IKJ). Karya-karya yang masuk beragam, namun mayoritas bernuansa 'amatiran' (saat itu hampir semua karya menggunakan media film 8mm yang harganya terjangkau). Semangat lomba tersebut menular pada sebagian mahasiswa sinematografi LPKJ, yang kemudian melahirkan sebuah gerakan bernama "Sinema Delapan", di mana semua film yang dihasilkan harus menggunakan media film 8mm. Semangat ini, terutama, lahir sebagai gerakan penentangan terhadap kemapanan industri film Indonesia yang ketika itu mengalami perkembangan luar biasa di mana 125 film dilahirkan dalam satu tahunnya. Namun karena kurangnya dukungan, Sinema Delapan hanya bisa bertahan satu tahun.

Setelah satu dekade vakum tanpa adanya pergerakan yang berarti, muncullah Forum Film Pendek (FFP) di tahun 1980-an. Pendiri dan anggota yang berasal dari macam-macam latar belakang membuat gerakan ini lebih terasa signifikan. FFP menciptakan isu nasional dan memutar film hingga ke Medan, Lombok, Bali. FFP juga tercatat sebagai komunitas yang pertama kali memformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Semenjak kelahiran FFP yang salah satu misinya ada-lah memperkenalkan film sebagai karya seni hingga ke luar negeri, film-film pendek Indonesia mulai dikirim untuk mengikuti ajang festival film mancanegara. Hal ini tentu saja memberi semangat lebih kepada para pembuat film muda untuk berkarya, walau kebanyakan dari mereka masih berlatar belakang pendidikan sinematografi. Salah satu prestasi awal yang dicapai film pendek Indonesia adalah ketika film pendek Gotot Prakosa diundang untuk diputar di Oberhausen Film Festival, Jerman, sebuah festival film pendek tertua dan paling bergengsi di dunia.

Walau komunitas film di dekade 80 dan awal 90-an tidak sebanyak sekarang, namun dengan keterbukaan peluang untuk berkarya, gerakan-gerakan yang sifatnya lebih individual dan tertutup mulai berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta. Pembicaraan dan wacana film mulai beredar tidak hanya di kalangan akademisi dan penggiat film, tetapi juga praktisi seni visual dan penikmat budaya pop. Hal ini muncul sejalan dengan masuknya program MTV di layar kaca. Antusiasme para produser dan pemusik yang berlomba untuk mempopulerkan lagu-lagu mereka lewat video musik (di Indonesia lebih popular dengan sebutan video klip) membuat sebuah industri baru dalam dunia gambar bergerak Indonesia.

Walaupun hakikat video musik di Indonesia terkadang tidak lebih sebagai alat promosi dan seringkali dinilai dari segi estetisnya belaka, industri ini membuat anak-anak muda mulai terjun ke dunia tersebut, selain aktif di film iklan dan produksi acara TV. Semangat anak-anak muda ini adalah angin segar, terutama di kala perfilman Indonesia sedang berada dalam titik terendahnya di mana 95% film Indonesia yang diproduksi antara 1994-1998 adalah film khusus dewasa alias esek-esek.

Tahun 1997 menjadi tahun penting bagi perubahan film Indonesia yang mati suri (bukan mati produksi, tapi mati kualitas!). Di tahun ini Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan jargon tenarnya, yaitu Sinema Gerilya. Dalam tulisannya SGA mengatakan bahwa "jika ingin ada orang menonton film Indonesia, masyarakat penonton itu harus diciptakan dulu" dan "kebangkitan perfilman Indonesia akan sangat bergantung pada karya pribadi yang kuat." Buah pikiran Seno Gumira ini lahir hampir bersamaan dengan produksi film panjang independen pertama Indonesia, Kuldesak, sebuah film gabung-an dari empat cerita / film pendek yang dilahirkan oleh semangat muda-mudi penggiat film Indonesia atas nama gerakan Sinema Independen. Mereka adalah Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani (keempat nama yang disebutkan di awal kini menggawangi produksi film berkualitas Indonesia). Film yang didanai sendiri oleh keempat sutradaranya ini menggunakan teknologi digital (video) dan mengusung cerita yang tidak biasa pada saat itu: potret kegelisahan anak muda melalui kacamata anak muda itu sendiri.

Film Kuldesak, dengan gebrakan tema, budget produksi dan medium yang digunakannya, bersama dengan "Sinema Gerilya" SGA, tidak bisa dipungkiri memulai babak baru dalam sinema independen Indonesia. Bermula dari itu, perlahan-lahan tumbuh komunitas film di Indonesia, sebagian memfokuskan diri hanya pada apresiasi, sebagian lainnya langsung terjun ke dunia praktek dengan memproduksi film-film pendek, dokumenter, maupun feature film. Di tahun 2000 saja tercatat 6 film feature independen yang semuanya diproduksi dalam medium digital: Beth/Aria Kusumadewa, Bintang Jatuh/Rudi Soedjarwo, Jakarta Project/Indra Yudhistira, Pachinko & Everyone's Happy/Harry Suharyadi, Tragedi/Rudi Soedjarwo, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta/Enison Sinaro.

Runtuhnya orde baru yang mencapai puncaknya di tahun 1998 membawa kemerdekaan bagi banyak anak muda untuk lepas dari doktrin 'silence is golden'. Darah-darah muda (dengan gelora barunya) meneriakkan kata-kata 'independen!' pada saat yang bersamaan, hampir pada semua jenis bidang kreatifitas. Keadaan ekstatik yang awalnya bersifat individualistis ini perlahan memijakkan diri dengan membentuk institusi-institusi informal (atau komunitas) yang bermula di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.

Berbagai elemen secara tidak langsung namun simultan mendukung perkembangan sinema independen Indonesia saat itu (dan terus berlangsung hingga kini):
1. Kemudahan dan semakin terjangkaunya pembuatan film dengan teknologi digital (Digital video dan non-linear editing di komputer).
2. Hadirnya Festival Film dan Video Independen Indonesia (kini menjadi Festival Film Pendek Indonesia, yang kemudian menginspirasi festival-festival film independen lokal lainnya) dan Jakarta International Film Festival sebagai festival film internasional di tahun 1999, menghadirkan referensi dan semangat baru bagi para pembuat maupun penikmat film.
3. Meluasnya jaringan internet yang membuka cakrawala pendidikan non-formal secara general, khususnya perfilman.
4. VCD dan DVD bajakan membantu membuka wacana baru dengan referensi-referensi film internasionalnya.

Faktor pendukung di atas melahirkan ruang-ruang alternatif yang tidak hanya dikelola di bawah naungan individu/organisasi non-formal, tetapi juga pusat-pusat kebudayaan, kampus-kampus. Lahirnya karya-karya film independen Indonesia dengan sendirinya memaksa 'keran-keran' kebudayaan ini untuk membuka diri dan mendukung perkembangan jaman, yaitu jaman para generasi X dan Y (yang terkenal dengan kecuekkan, kecerdikan, kemandirian, dan tentunya, kegilaan pada teknologi). Saat ini, tidak kurang dari 80 komunitas film di kota besar dan pelosok Indonesia menjalankan kegiatannya secara mandiri dengan mengadakan pemutaran film dan diskusi secara reguler, produksi film, bahkan beberapa mulai berani memposisikan institusi mereka sebagai distributor film. (Untuk lebih jelas, lihat daftar 'Data Komunitas Film Indonesia', yang dirujuk dari website www.datakomunitas.wordpress.com dan baru-baru ini berganti nama menjadi www.filmalternatif.org).

Hampir seluruh komunitas film di Indonesia tidak menggantungkan diri mereka pada dana dari funding, terlebih pemerintah. Rasa-rasanya agak sulit untuk mengharapkan dukungan dari pemerintah, mengingat film nasional (baca: film Indonesia arus utama) pun masih dilirik setengah mata oleh para petinggi tersebut. Namun hal ini justru mengakibatkan perasaan senasib sepenanggungan yang kuat di antara para penggiat komunitas film di Indonesia. Masing-masing sadar betul bahwa daya jangkau mereka akan semakin lebar dengan adanya sinergi yang matang satu sama lain. Seperti contoh, komunitas Minikino yang berbasis di Denpasar, mengadakan acara monthly screening mereka di lima tempat di bawah naungan komunitas-komunitas film lokal Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Bahkan beberapa komunitas film (Kineruku, Kinoki, Arisan Film Forum) kini bergabung untuk menerbitkan jurnal kajian film tiga bulanan yang akan didistribusikan di sebanyak mungkin titik di seluruh Indonesia. Keinginan ini tidak terlepas dari keinginan masing-masing komunitas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (teknis maupun apresiatif), serta menciptakan masya-rakat penonton yang kritis dan apresiatif.

Perlahan, rupanya impian Seno Gumira Ajidarma atas terciptanya kembali 'penonton film Indonesia' mulai terwujud, dan gerakan-gerakan masif yang sifatnya apresiatif tersebut ironisnya justru bermekaran dari komunitas-komunitas film yang senantiasa bergerak di bawah radar.

Independen dan.. Hmm… Pokoknya Independen!

Ketika kata 'independen' yang kerap mengembel-embeli lahan utama kreatifitas anak muda –musik dan film– terus dikumandangkan di televisi, radio, bahkan koran-koran Indonesia (termasuk Kompas yang akhir-akhir ini gencar dengan UrbanFest-nya), berapa banyak dari kita yang tahu benar makna di baliknya? Bagi anak-anak muda masa kini, rupanya kata 'independen' terlanjur bernasib layaknya merk dan jargon pencitraan ketimbang sebuah idealisme.
Secara etimologi, kata 'independen' adalah sebuah kata sifat yang berarti 'bebas dari kontrol luar dan tidak tergantung pada otoritas tertentu', sebuah definisi yang memang cocok disematkan pada gelora darah muda.

Sebelum kita mencari tahu tentang asal-muasal film independen, simak dahulu tanya jawab tentang definisi film indie seperti dimuat di koran Pikiran Rakyat. Film Indie Itu...
Winda, IPA 1 SMAN 24: “Film yang dibikin sendiri, enggak banyak orang terkenal yang maenin. Modalnya enggak gede, dan enggak disebarin di seluruh Indonesia.”
Hana, IPA 4 SMAN 24: “Film yang dibuat sendiri. Setau aku ada festivalnya dan enggak diputar di bioskop.”
Devi, IPA 4 SMAN 24: “Bikinan sendiri, kurang terkenal, dan salah satu wadah untuk jadi bintang. Batu loncatan sebelum tenar gitu.”
Ika, IPA 3 SMAN 24: "Aku belum pernah liat. Setau aku orang-orangnya enggak terkenal. “
Theo, penyiar: "Hebat. Berkarya tanpa memikirkan biaya. Hasilnya juga lebih keren, soalnya bisa idealis tanpa memikirkan pasar.
Filmsindie.com: "Film Independent ini adalah film yang dibuat dengan melawan peraturan, maksudnya film-film yang sekiranya biasa "Goes To Kampus". Film Independent ini biasanya dipasang di kampus-kampus, yang diperkenalkan oleh Aria Kusumadewa."


Jawaban para koresponden di atas (yang mungkin memutar bola matanya sampai tujuh kali sebelum menjawab) walau lebih terdengar sebagai tebakan ketimbang paparan, dapat merepresentasikan pandangan masyarakat atas film independen di Indonesia, yaitu: film yang dibuat sendiri dengan bujet minim –dan oleh karenanya seringkali tampak ala kadarnya dengan bintang yang juga 'seadanya'– dan tidak beredar di bioskop utama. Oleh karenanya tidak jarang orang mempersepsikan film independen sebagai film berkualitas buruk: pencahayaan, teknik kamera, dan akting yang tidak memadai. Hal ini wajar saja terjadi, mengingat kualitas film independen Indonesia masih jauh dari standar sinematik secara umum. Namun yang merisaukan adalah ketika para pembuat film muda (baca: independen) kini berlomba-lomba mengejar ketertinggalan dalam masalah teknis, mereka melupakan hakikat utama sebuah film independen, yaitu idealisme kekaryaan. Tidakkah mengenaskan apabila dalam beberapa tahun ke depan kita melihat film independen Indonesia layaknya videografi pre-wedding yang indah.. dan indah saja?

Istilah 'film independen' sendiri lahir di Amerika Serikat di pertengahan 1960. Ketika itu filmmaker-filmmaker muda berbakat seperti Steven Spielberg, George Lucas, John Cassavetes, Stanley Kubrick, Martin Scorsese jengah melihat keadaan industri Hollywood yang terlalu mapan dan eksklusif. Hollywood (bahkan hingga kini) menutup kemungkinan sutradara-sutradara muda untuk berkecimpung kerja dalam lingkaran mereka. Pemilihan sutradara, juga aktor, hanya berkisar pada orang-orang yang telah memiliki reputasi sebagai pembuat film handal (baca: yang dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi studio film dan pendana). Dari keinginan untuk mendobrak kemapanan gurita industri inilah lahir sebuah gerakan film yang mereka sebut 'film independen'. Kelima sutradara tersebut kemudian merombak cara kerja perfilman di Amerika Serikat dan melahirkan karya-karya awal yang monumental. Namun, setelah mendapatkan reputasi, karya-karya mereka pun berubah menjadi lebih mapan, bahkan akhirnya menjadi bagian industri Hollywood itu sendiri. Dari kelima nama di atas, hanya John Cassavetes yang terus berkarir di jalur independen dan melahirkan karya-karya eksperimental yang hingga kini disebut sebagai masterpiece film independen seperti Shadows, A Woman Under the Influence, dan The Killing of A Chinese Bookie. Entah faktor kebetulan atau tidak, di antara kelima sutradara tersebut di atas, hanya Cassevetes-lah yang tidak berlatar belakang pendidikan film.

Entah karena rasa bersalah, atau sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka dahulu, Steven Spielberg dan George Lucas (dua sutradara terkaya dunia) kini mendirikan studio-studio film untuk terus mendukung berkembangnya film-film independen Amerika Serikat. Tidak heran apabila di balik industri Hollywood yang besar itu, film-film 'bawah radar' Amerika Serikat pun secara statistik merajai sinema inde-penden dunia. Hal ini tentunya dibantu dengan kuatnya jaringan distribusi film independen di negeri tersebut, juga maraknya penyelenggaraan festival film khusus independen (diprakarsai oleh salah satunya Sundance Film Festival di tahun 1978), dan kini ditambah dengan berkembangnya internet si raja promosi dan distribusi do it yourself.

Bicara tentang film independen di Indonesia memang agak membingungkan. Bila memang benar 'independen' dekat dengan anarkisme, pemberontakan melawan kemapanan, lalu tipe anarkisme macam apakah yang diusung oleh film independen Indonesia? Atau, kemapanan seperti apa? Tidakkah film-film yang dianggap telah mapan bentuk dan teknis (seperti karya-karya SET, Miles Films, Salto Films, dan Kalyana Shira Films), juga mengusung anarkisme yang kuat dalam bentuk ide, dan terkadang juga cara eksibisi dan distribusi?

Walau setiap orang menginterpretasikan 'film independen' secara berlainan, Moran & Willis melontarkan suatu penjelasan yang mendekati ketepatan (atau saya anggap paling mewakili): “Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor. Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara massal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (dikutip dari Kemajemukan Karya Sinema Indonesia: Sebuah Cita-cita? Ditulis ulang oleh Alex Sihar, www.konfiden.or.id).

Melihat definisi di atas, rasanya jelas bahwa sebuah film independen seharusnya adalah sebuah 'pemberontakan' yang menyeluruh, matang dalam pemikiran dan pernyataan, dan tercipta dari kecintaan sang pembuat terhadap dunia film dan hakikat film yang bukanlah alat hiburan semata. Membawa semangat yang benar, sebuah film independen harus mampu menghadirkan kesegaran secara terus-menerus dalam dunia sinema Indonesia yang perlahan tapi pasti menggiring masyarakatnya menuju suatu hegemoni tema dan bentuk. (lihat attachment untuk bagan peta sejarah perkembagan film independen Indonesia)

* Artikel ini diambil dari www.rumahbuku.info
** Programmer KINERUKU Bandung

Thursday, November 29, 2007

MERETAS RUANG KOSONG


Oleh: Tubagus P. Svarajati*


Tanpa ‘ba-bi-bu’ dan zonder ‘koar-koar’ pula, enam anak muda memotret dan membuat video tentang kota Semarang. Karya-karyanya dipamerkan di ruang tengah kantor Yayasan Widya Mitra, Jalan Singosari II No. 12, Semarang. Pameran berlangsung pada 8—24 November 2007.

Modus ‘diam-diam’ itu terasa tak lazim di era komunikasi yang tak lagi bersekat sekarang ini. Kendati demikian, biarlah perkara itu menjadi PR bagi mereka. Yang terpenting ialah: apa saja yang menarik dari praktik kekaryaan para mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) Kronik Filmedia (KF) itu. Mereka: Damar Ardi Atmaja, Yuliansyah Ariawan, Ghita Kriska, Thommas Kurniawan, Lina Nurdiana, dan Bakti Buwono.

Mereka mengangkat tema dan sekaligus judul pameran: “The City”. Ini pokok yang menarik kendati merambah banyak topik. Kota, kita tahu, tak cuma sebagai tempat domisili, namun pula ruang berekspresi. Kota sekaligus adalah arena kontestasi beragam kepentingan yang melibatkan banyak stakeholders. Dengan begitu, tak ayal, ada yang terkalahkan. Ada pecundang di sana. Akan tetapi, ada pula yang dikonstruksi menjadi penanda kekuasaan.

Seperti itu pula kiranya yang disoroti oleh mereka berenam. Pameran Foto & Video “The City” menunjukkan banyak penanda-penjelas tentang fenomena ruang, tata kota, dan penduduknya yang bersambur-limbur dengan berbagai kepentingan hajat hidup mereka.

Terlepas dari karya-karya mereka yang, sejujurnya, terasa sederhana artistikanya, ajang kali ini menampilkan keberanian unjuk diri yang patut dihargai. Para mahasiswa itu berani tampil ke publik umum, bukan cuma di halaman kampus mereka saja. Mereka seperti hendak memecahkan kebekuan kreasi di kalangan mereka sendiri.

Jelas, selama sembilan tahun KF berdiri terhitung hanya beberapa biji karya mandiri dihasilkan. Selebihnya gerombolan mahasiswa (para intelektual muda calon penerus bangsa besar yang sedang morat-marit!) itu hanya puas sebagai pelaksana tugas dari sejumlah besar aktivitas dari luar. Popularitas KF hanya menunjukkan tanda nama yang kebesaran.

Kegiatan pameran ini juga menunjukkan rapor baik bagi YWM. Lembaga bernama lengkap Yayasan Persahabatan Indonesia-Belanda/Eropa “Widya Mitra” ini tak sekadar menjadi institusi steril. Tak banyak aktivitas dihasilkan dari lembaga dengan pendanaan dari Kerajaan Belanda itu. Tiga tahun terakhir – menempati ruang di Jalan Singosari II – praktis tidak banyak kegiatan penting meluncur dari sana.

Selama ini YWM – setali tiga uang dengan KF – jelas sekadar pelaksana tugas dari induk pendonornya. Tidak banyak aktivitas independen dan bernilai dalam konteks politik kebudayaan kita yang dihasilkan oleh para pengurusnya. Hemat saya, dengan improvisasi yang elegan, YWM mampu memberikan kontribusi kultural terhadap pengembangan seni-budaya kota pesisir ini. Hindarkan YWM sebagai arena klangenan kelas menengah tertentu saja.

Saya kira kegiatan pameran di atas sangat positif sebagai penanda awal dan inisiasi kelahiran ruang – ruang budaya dan ruang kreatif – dengan sumbangan pemikiran dan kreasi yang jelas. Tentu saja jika kita anggap YWM adalah ruang budaya dan KF sebagai ruang kreatif.

* pengamat seni rupa, tinggal di Semarang

Thursday, November 8, 2007

Wednesday, November 7, 2007

THE GOD WHO FINALLY WON OSCAR

Oleh : Damar Ardi


Tahun 2007 ini merupakan tahun yang terpenting bagi Martin Scorsese, karena akhirnya setelah sekian lama ia mendapatkan penghargaan Piala Oscar sebagai sutradara terbaik lewat film The Departed. Dia disebut-sebut sebagai salah satu legenda perfilman dunia selain Alfred Hitchcock, Orson Welles, Steven Spielberg, Stanley Kubrick, dan Francis Ford Coppola.

Martin Scorsese adalah seorang sutradara yang sarat pengalaman. Ia merupakan alumni dari jurusan sinema di New York University dan sempat menjadi dosen setelah dia lulus dengan nilai yang memuaskan. Film pertamanya berjudul Who’s That Knocking At My Room (1967). Pada tahun 1973 dia menelurkan Mean Street yang merupakan kerjasama pertamanya dengan Robert De Niro. Film ini memperkenalkan gaya khas Martin Scorsese seperti setting kota New York , tokoh kesepian yang bergelut dengan sisi gelap dalam dirinya dan adegan kekerasan yang brutal. Setahun kemudian dia menggarap tema feminis lewat Alice Doesn’t Live Here Anymore (1974) yang mengantarkan Ellen Burstyn meraih pilala Oscar sebagai Best Actress.

Pada tahun 1976 dia menelurkan Taxi Driver yang sering dianggap sebagai salah satu mahakaryanya. Film tersebut dibintangi oleh anak emasnya, Robert De Niro sebagai Travis Bickle dan Jodie Foster yang meraih Piala Oscar untuk kategori Best Supporting Actress. Setelah Taxi Driver, berturut-turut dia menghasilkan New York- New York (1977) dan Raging Bull (1980) yang mengantarkan Robert De Niro meraih Piala Oscar. Setelah itu ia mengeluarkan The King of Comedy (1983), After Hours (1985), dan The Color of Money (1986).

Salah satu karya kontroversial Martin Scorsese adalah The Last Temptation of Christ (1988) yang menggambarkan sisi manusiawi Yesus Kristus. Film tersebut sempat dicekal di berbagai negara. 2 tahun kemudian dia mengangkat tema mafia melaui salah satu masterpiece-nya yang berjudul Goodfellas. Film tersebut dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu film mafia terbaik yang pernah ada selain The Godfather karya Francis Ford Coppola.

Setelah pada tahun 1991 menghasilkan karya remake Cape Fear, ia menelurkan film drama yang berjudul the Age of Innocence (1995) yang dibintangi oleh Daniel Day Lewis dan Michelle Pfeifer serta drama mafia yang berjudul Casino (1995). Setelah sempat gagal dengan Kundun (1997) dan Bringing Out The Dead (1999), ia meraih sukses lewat Gangs of New York (2002) dan The Aviator (2004) yang dibintangi oleh anak emasnya terbaru, Leonardo Di Caprio

Setelah sempat berulangkali gagal mendapatkan Oscar, walaupun dia sering mendapatkan nominasi Oscar, akhirnya tahun 2007 ia mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut sebagai sutradara terbaik melalui The Departed. Uniknya, film tersebut merupakan remake dari film Hongkong yang berjudul Infernal Affairs. Padahal dulu dia sempat di cap gagal dalam me-remake film Cape Fear.

Banyak orang berpendapat bahwa Martin Scorsese harusnya berhasil menyabet Oscar sejak film Raging Bull (1980) dimana ia dinominasikan sebagai sutrdara terbaik. Selain Raging Bull, sutradara kelahiran 17 November 1942 juga dinominasikan dalam The Last Temptaion of Christ, Goodfellas, The Age of Innocence, Gangs of New York, dan The Aviator. Padahal semua penghargaan bergengsi selain Oscar pernah dia terima, seperti Golden Palm (Cannes Film Festival), Golden Globe, Venice Film Festival, BAFTA, dan bahkan Grammy Awards saat dia menggarap video klip Bob Dylan.

Sunday, October 28, 2007

Mari Menonton Sambil Berpikir Lewat Film Intelek*

Oleh : Imam Budiman

Kalau kita berkaca pada karakter penonton Indonesia, maka sesungguhnya telah tergambar jelas film seperti apa yang kebanyakan mereka sukai. Dalam beberapa tahun terakhir periode kebangkitan perfilman Indonesia, film yang banyak menghiasi layar lebar tanah air tidak jauh dari film bertema cinta atau komedi seputar kehidupan remaja, serta genre horor yang seolah tak pernah habis diproduksi sepanjang tahun. Intinya, kecenderungan yang ada adalah para produser berlomba-lomba membuat film yang sesuai dengan selera pasar (mainstream).
Hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena bila dikaitkan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang baru pulih, bisnis perfilman membutuhkan stimulus lewat dukungan para penontonnya agar dapat pulih kembali dari mati surinya. Walhasil, kebanyakan film-film Indonesia pun lebih banyak dijejali dengan tema-tema cerita yang ringan, mengedepankan unsur hiburan, monoton dan yang patut disayangkan, turut kehilangan kecerdasannya.
Sesungguhnya tidak ada yang salah jika penonton Indonesia kebanyakan lebih menyukai film yang lebih entertaining dibandingkan film-film bertema serius. Jangan salahkan pula bila mereka lebih prefer ke film-film popcorn khas Hollywood dibanding art film keluaran Eropa misalnya, toh penonton pastinya tidak mau ambil pusing dengan alur cerita njelimet yang ujung-ujungnya hanya membuat kita pusing dan menggerutu. Selama film ringan yang dimaksud tersebut mampu menyeimbangkan unsur komersial dan kualitas sehingga melahirkan tontonan yang bermutu, tentunya hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Sebagian besar film yang membanjiri bioskop-bioskop negeri baik produksi anak bangsa maupun dari luar semacam Hollywood adalah film-film komersial berkualitas cetek dengan tema cerita yang itu-itu saja. Yang lebih parah lagi, film-film intelek “kelas berat” yang notabene sudah diakui di berbagai ajang penghargaan malah dipandang sebelah mata dan terlihat dinomorduakan. Kalau penonton ngotot untuk lebih memilih film yang mampu menyajikan unsur art dan entertainment secara balance, hal ini tentu bukan perkara mudah. Menggabungkan unsur idealisme dengan nilai bisnis bagaikan mencampur air dengan minyak, seringkali terjadi benturan dan pertentangan. Berapa banyak sich film sekelas Lord of the Rings trilogi atau Gladiator yang dirilis setiap tahunnya? Lantas mau dikemanakan film-film intelek yang saya maksudkan tadi?
Lewat tulisan ini, saya akan mencoba membuka wacana berpikir bagi penonton awam bagaimana nikmatnya menonton sambil berpikir serta menangkap esensi yang terkandung dalam film-film intelektual. Dengan melihat lebih dalam akan nilai-nilai filosofis yang tersirat dalam sebuah film serta membuka mata akan eksistensi film-film yang bersifat non-linear, diharapkan agar penonton dapat memperoleh cara pandang baru dalam melihat dan menilai film. Film dalam konteks bukan sekedar media hiburan, tetapi kembali ke akarnya sebagai wadah seni untuk berekspresi serta memperoleh apresiasi sejati dari penontonnya.
Mengenal Film Intelek Lebih Dekat
Bila anda sering mengikuti berita seputar film beberapa bulan belakangan ini, maka film berjudul Crash tentunya tidak begitu asing di telinga anda. Sedikit menyegarkan ingatan, Crash baru saja dinobatkan sebagai film terbaik Oscar pada awal Maret lalu lewat sebuah kemenangan tak terduga. Bagi yang sudah menontonnya, pasti akan setuju jika Crash dikategorikan sebagai film intelek, film serius, film non linear, non mainstream atau apalah namanya. Satu hal yang pasti, meski film ini dipuji banyak kritikus, namun ternyata ia tidak begitu populer di mata penonton awam, apalagi di Indonesia. Crash adalah salah satu contoh dari sekian banyak film cerdas yang pada akhirnya terlupakan hanya karena banyak penonton kita yang tidak cukup cerdas untuk dapat menikmati tontonan berkelas ini.
Bila kita menonton film intelek dan sejenisnya, maka tiga komentar yang paling merepresentasikan reaksi penonton setelah menyaksikannya adalah (1) membosankan; (2) memusingkan dan (3) melelahkan. Pemikiran-pemikiran seperti ini terbilang logis karena untuk dapat menikmati—atau bahkan memaknai—suatu film yang kompleks secara sempurna memang bukan perkara mudah. Bila kita sebagai penonton tidak cukup jumawa dalam menafsirkan apa yang ditontonnya, kendala-kendala di atas pastinya akan sulit diatasi.
Saya sepenuhnya setuju dengan komentar Ekky Imanjaya sebagaimana termuat dalam artikelnya yang berjudul Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial?—bahwa sesungguhnya upaya penafsiran makna sebuah film berada sepenuhnya di tangan penonton. Dan oleh karenanya, sebuah film baru pantas disebut intelektual jika penontonnya pun cukup cerdas untuk memaknainya. Singkatnya, film intelek butuh penonton yang juga intelek untuk bisa eksis.
Film intelek adalah film yang membutuhkan kematangan dan kedewasaan berpikir dari penontonnya. Bila kita melihat perkembangan dan sejarahnya, film seperti ini lebih banyak tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa. Perfilman Eropa sendiri terkenal dengan iklim budayanya yang begitu mengakar, lebih bebas dan ekspresif.
Dengan iklim perfilman yang lebih bebas ini kemudian memicu lahirnya berbagai aliran/budaya film yang lebih ekspresionis dalam bertutur dan cenderung melawan arus (non-mainstream) dari pakem yang telah ditetapkan dalam membuat film konvensional. Hal ini pernah dilakukan oleh Orson Welles di Hollywood tahun 1940 ketika membuat Citizen Kane serta karya-karya spekulatif Stanley Kubrick. Mereka-mereka yang menjadi kreatornya adalah para pekerja seni yang masih murni mengedepankan mutu di atas segala-galanya. Di Eropa sendiri, kemudian lahir sineas-sineas jenius yang banyak menelurkan film-film masterpiece dan monumental. Para pekerja seni inilah yang membubuhkan identitas yang melekat kuat dalam film-film Eropa yang terkenal jamak melahirkan film-film intelek “kelas kakap”.
Bila kita sepakat mengenai hal di atas, maka nama-nama besar dedengkot film semacam Ingmar Bergman (Seventh Seal, Fanny and Alexander) ataupun Kryszytof Kieslowski (Dekalogue, Three Colors trilogy) rasanya tidak perlu diragukan lagi kualitas karyanya yang kental dengan simbolisme dan sangat filosofis. Di generasi kini ada nama Lars von Trier (Dogville), Alejandro Gonzales Inarritu (Amores Perrros) atau Pedro Almodovar (Talk to Her). Di Hollywood sendiri meki cenderung ngepop, namun masih ada sejumlah sineas underground yang tetap idealis seperti Quentin Tarantino (Pulp Fiction) yang nyentrik, Chritopher Nolan (Memento) dan yang lebih ekstrim seperti David Lynch (Mulholland Drive). Di Asia sendiri, nama Wong Kar-Wai (In the Mood for Love), si rabid dog Takashi Miike (Audition) serta Chan-Wook Park (Oldboy) adalah yang patut dikedepankan.
Kesemua sutradara tadi membuat film dengan lebih mengutamakan kepuasan batin mereka dibanding kepuasan pasar. Jadi jangan heran jika banyak karya mereka yang sulit dipahami dan butuh pemikiran ekstra untuk membongkar pesan-pesan tersembunyi dalam karya-karya mereka.
Ciri Khas Film Intelek
Bila anda jenis penonton yang telah terbiasa menonton film-film intelek atau bahkan sangat menikmatinya, maka pastinya anda sudah bisa menyadari bahwa ada semacam karakteristik yang melekat dibalik film berjenis ini. Bahkan bagi yang sudah banyak “makan garam”, hanya dengan melihat trailer-nya atau cover/judulnya saja sudah bisa ketahuan akan kemana arah film tersebut membawa penontonnya. Memang ada semacam pola yang identik dan seolah menjadi aturan tak tertulis dalam proses lahirnya jenis film yang satu ini. Ciri-ciri di bawah ini boleh dikata cukup mewakili seperti apa film intelek itu secara umum.
1. Gaya penggarapan/penyutradaraan yang sering tidak lazim dan kompleks, atau sering pula disebut dengan istilah non linear. Contoh: Memento (2000), Mulholland Dr. (2001).
2. Alur cerita yang umumnya tidak lurus, seringkali plot kisahnya menggunakan alur/dramalurgi flashback atau meloncat-loncat/maju-mundur. Dalam beberapa kasus malah ada film yang sangat susah dicerna proses loncatan waktu dalam ceritanya. Contoh: In My Father’s Den (2004) dan semua film arahan Quentin Tarantino.
3. Mengangkat tema cerita yang mengutamakan orisinalitas dan jarang diangkat ke muka umum. Seringkali cerita bahkan dibawa ke tingkat yang lebih ekstrim, nekat hingga mengundang kontroversi. Contoh: Irreversible (2003), Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004).
4. Karena kebanyakan dianggap kurang memiliki nilai jual, maka film sejenis ini diproduksi dan dirilis dengan dana/bujet berskala kecil (independen) dan lebih banyak “bergerilya” di ajang festival film dengan pemutaran terbatas ketimbang berkeliaran di bioskop-bioskop besar. Contoh: Donnie Darko (2001), Sideways (2004).
5. Ending adalah kunci dari film berjenis ini dan sekaligus yang sering dikeluhkan oleh penonton awam. Endingnya terkadang begitu mengejutkan, terkadang pula menggantung serta giat membubuhkan “tanda koma” di akhir film. Ending seperti ini tidak langsung memberikan kesimpulan/solusi, melainkan membiarkan penonton mencari jalan keluarnya sendiri. Dalam beberapa kasus yang menjengkelkan, film malah tidak memberi jalan sama sekali untuk menemukan jawaban. Contoh: Rashomon (1950), 2001: A Space Odyssey (1968).
6. Banyak memasukkan unsur simbolisasi, abstrak dan hal yang bersifat humaniora ke dalam gambar dan cerita. Film seperti ini biasanya memaksa kita untuk menonton film tersebut lebih dari sekali. Contoh: Red (1994), 3-Iron (2004).
7. Aktif melancarkan pesan-pesan bertema sosial serta kritik tajam seputar tatanan sosial. Contoh: Ghost World (2000), Elephant (2003).
Bagaimana Menikmati Film Intelek
Menikmati film intelek sesungguhnya memiliki keasyikan tersendiri, terutama bagi anda yang telah terbiasa menikmatinya. Bagi penonton yang lebih sering menikmati film-film yang lebih “normal”, mungkin inilah saatnya bagi anda untuk menjajal sesuatu yang baru dalam menonton film. Sedikit berpikir saat menonton tentu bukan sesuatu yang buruk khan? Beberapa tips di bawah ini saya pikir patut disimak bagi anda para penonton pemula.
1. Bila ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya, maka demikian halnya dalam menonton film intelek. Pertama anda harus punya niat dan kemauan yang kuat untuk menikmatinya. Siapkan otak anda untuk berpikir karena ini bukan film yang bisa ditonton sambil makan popcorn.
2. Sebelum anda menonton, ada baiknya jika anda terlebih dahulu membaca ulasan/preview film yang akan ditonton. Bukan apa-apa, terkadang menonton film seperti ini tidaklah mudah. Setidaknya anda sudah tahu bagaimana dan akan kemana film ini mengarahkan penontonnya. Tapi awas, jangan sampai merusak kenikmatan anda dengan membaca spoiler, karena spoiler inilah yang menjadi musuh besar seorang penikmat film.
3. Jika film intelek yang anda tonton tergolong kategori “benar-benar berat”, ada baiknya bila anda menonton sambil didampingi oleh orang yang lebih berpengalaman, setidaknya oleh orang yang sudah pernah menonton film tersebut sebelumnya. Jadi kalau anda menemui jalan buntu dalam memahami cerita, partner anda ini bisa mengarahkan anda agar tidak terjebak ke “dark side”. Tapi (lagi-lagi) awas, jangan sampai si partner keceplosan hingga membocorkan kejutan yang akan muncul. Maklum, inilah kebiasaan penonton yang terkadang sok tau.
4. Setelah menonton filmnya, hal yang paling bijak dilakukan oleh seorang penonton film adalah membuka diskusi atau bedah film bersama orang yang sudah menontonnya. Terkadang ada sejumlah film yang mengandung makna yang multi tafsir. Oleh karenanya lewat diskusi film, kita bisa sharing pendapat sehingga bukan tidak mungkin diperoleh tafsiran baru akan makna yang sebelumya tidak kita ketahui.
5. Membaca review dari para kritikus film. Kritikus film adalah penonton yang paling bijak karena mereka melihat film secara mendalam dan menyeluruh. Jadi tidak perlu ragu untuk membandingkan hasil penafsiran anda dengan ulasan mereka yang banyak dimuat di berbagai media cetak dan internet.
6. Kalau anda masih belum mengerti juga makna dari film yang anda tonton, jangan pernah ragu untuk menontonnya sekali lagi, dua kali bahkan berkali-kali sampai anda mengerti. Semakin anda membiasakan diri menonton film semacam ini, maka semakin mudah anda memahaminya. Sesungguhnya kemampuan kita untuk memahami suatu hal terbentuk dari pengalaman dan kebiasaan. Sekali lagi, jangan ragu untuk tonton dan tonton lagi!
Kesimpulannya, perlu ada perubahan dalam hal budaya menonton film di negara kita. Penonton kita sudah terlalu banyak dijejali dengan tontonan sinetron yang tidak logis dengan tema cerita yang sudah basi. Tontonan seperti ini sesungguhnya bukan pilihan yang tepat untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat kita. Yang paling saya khawatirkan, jangan sampai cara bertutur “dagang mimpi” ala sinetron ini turut merambah dunia perfilman kita yang baru bangkit. Bisa-bisa dunia baru yang telah dibangun para sineas muda kita jatuh ambruk lagi seperti awal tahun 1990-an gara-gara kemonotonan produksi film di masa itu.
Namun saya bersyukur karena masih ada sejumlah sineas kita—walaupun sedikit jumlahnya—yang tetap mempertahankan idealismenya seperti Nia Dinata (Berbagi Suami), Riri Riza (GIE) dan sutradara panutan saya, Garin Nugroho (Daun di Atas Bantal). Lewat tangan emas mereka, film intelek akan tetap hadir mewarnai belantika perfilman Indonesia. Film yang mengajak kita untuk lebih peka dan berpikir kritis di tengah langkanya tontonan bermutu di tanah air.
NB : Artikel ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan penulis terhadap budaya menonton film di negaranya.
* artikel ini diambil dari situs www.layarperak.com

Sunday, October 21, 2007

Masa Depan Film Indonesia : Sekolah Film vs Komunitas Film*

Oleh: Ifa Isfansyah**

Berbicara tentang masa depan pasti berawal dari sebuah kelahiran. Film dilahirkan oleh seorang pembuat film. Darimanakah seorang pembuat film lahir? Di beberapa negara yang industri filmnya kita anggap maju bisa dipastikan mempunyai beberapa sekolah film yang bagus. Permasalahan muncul di saat negara kita mempunyai banyak anak muda yang sangat konsen untuk menjadi seorang pembuat film tetapi hanya memiliki jumlah sekolah film yang sangat terbatas.

Sedangkan untuk membuat sebuah film yang berkualitas benar-benar dibutuhkan belajar, baik secara teknis maupun non-teknis. Keadaan semacam ini menyebabkan dan mengharuskan para calon penerus perfilman Indonesia ini untuk survive.

Maka tumbuhlah sebuah fenomena: komunitas film! Quentin Tarantino dengan sangat cepat segera diangkat menjadi dosen, bahkan merangkap rektor. Saat buku-buku tentang produksi film sangat jarang dan mahal, DVD bajakan akhirnya menjadi kurikulum utama. Setelah menjalani proses kuliah di ruang-ruang diskusi, film akhirnya dihasilkan dengan sangat tidak akademis. Ide-ide brilian dan film-film yang bervariasi menghiasi komunitas demi komunitas yang jumlahnya makin bertambah banyak seiring dengan banyaknya film berkualitas yang dibajak. Tidak ada lagi istilah story board, floor plan, director’s treatment, dramatic structure, shooting schedule, breakdown apalagi production design. Semua dihancurkan karena ketidaktahuan.

Pembuat film yang terlahir dari komunitas film semakin bertambah banyak. Sekolah film akhirnya semakin menjadi “musuh” para pembuat film. Akan tetapi komunitas film hanyalah komunitas film, tidak bisa berbuat banyak saat industri film (baca:produser) masih saja tetap mengacu ke sebuah film yang “akademis”. Bahkan pemerintah semakin asyik dan tidak menyadari bahwa dunia film telah mengalami revolusi besar-besaraan.

Ketidakjelasan dan kebingungan karena banyaknya cara untuk menjadi seorang sutradara dianggap positif. Ide-ide yang gila dengan eksekusi yang ngawur dianggap sesuatu kelebihan. Bahkan semakin menyalahi aturan karena ketidaktahuan dianggap sesuatu yang cerdas. Perubahan yang tidak segera disikapi ini membuat semuanya serba menjadi tanggung. Komunitas film menjadi bingung bagaimana cara untuk menjadi bagian dari masa depan perfilman Indonesia. Sekolah film pun juga semakin menjadi masa lalu dari sejarah perfilman Indonesia. Perkembangan dan masa depan film Indonesia akhirnya menjadi sesuatu yang sangat tidak terencana, dibiarkan mengalir begitu saja dan entah akan kemana.

NB :

Ikut prihatin dengan dinonaktifkannya ASDRAFI Jogjakarta setelah peristiwa gempa bumi tanggal 27 Mei 2007. ASDRAFI adalah Akademi Seni Drama dan Film di Jogjakarta yang didirikan pada tahun 1955. Beberapa seniman yang pernah belajar di ASDRAFI antara lain Putu Wijaya, WS Rendra, Sapto Raharjo, Teguh Karya dan masih banyak lagi. Sebelum peristiwa gempa bumi di Jogjakarta, 8 orang masih tercatat sebagai mahasiswa ASDRAFI. Memutuskan untuk non-aktif setelah bangunan yang selama ini digunakan sudah sangat tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.

*artikel ini diambil dari situs www.filmalternatif.org
**sineas Yogyakarta, kontributor filmalternatif yang sedang tinggal di Korea.

Thursday, October 11, 2007

Segenap Pengurus dan Anggota KRONIK FILMEDIA Mengucapkan
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Sunday, October 7, 2007

9 ANNIVERSARY KRONIK FILMEDIA

Tahun ini di KRONIK ada acaranya yg lain dari biasanya, yaitu Perayaan Ulang Tahun KRONIK FILMEDIA yang ke 9. Acara ini diadakan pada tanggal 3 Oktober 2007 kemarin di Gedung Widya MItra. Rangkaian acaranya yaitu Pemutaran Film Belanda NYNKE, buka puasa bersama, dan Launching Film KRONIK FILMEDIA terbaru yang berjudul THE HELMETS beserta diskusi mengenai film tersebut. Dalam acara ini kita mengundang beberapa teman-teman dari komunitas film Semarang seperti Magic Hour, Kine FISIP UNDIP, dan sebagainya.

Acara dimulai jam 15.30 wib dengan Pemutaran Film Belanda NYNKE. Beberapa penonton cukup antusias menonton film ini, namun setelah beberapa lama nampak beberapa penonton yang keluar ruangan karena menurutnya filmnya membosankan dan ceritanya datar. Ditambah lagi dia sedang berpuasa sehingga agak kurang berkonsentrasi dalam menonton film. Acara selanjutnya yang sangat ditunggu-tunggu adalah buka puasa bersama. Diawali dengan pemotongan kue tart oleh ketua KRONIK FILMEDIA, Anto Setiawan. Dilanjutkan dengan pemaparan sejarah KRONIK FILMEDIA oleh Mas Seno Widya Mitra yang mengetahui sejarah panjang KRONIK FILMEDIA.

Setelah kenyang berbuka puasa, acara dilanjutkan dengan launching film terbaru dari kita, THE HELMETS plus diskusi mengenai film tersebut. THE HELMETS merupakan film yang sebagian besar crewnya merupakan anggota magang KRONIK FILMEDIA tahun 2007. Sebuah semangat yang patut diacungi jempol buat teman-teman magang KRONIK FILMEDIA 2007.
Setelah 9 tahun eksis dan melewati berbagai tantangan, semoga ke depannya KRONIK FILMEDIA lebih berkembang dan semakin solid.
Amin!!!


Wednesday, September 26, 2007

THE HELMETS


Setelah sekian lama tidak mengeluarkan karya, akhirnya KRONIK FILMEDIA meluncurkan film pendek terbaru karya Graham Wiratama yang berjudul THE HELMETS .

Film ini bergenre komis (komedi-mistis) yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Koko yang berambisi untuk menaklukkan kerasnya hati Tatik dengan bantuan arwah temannya yang baru saja meninggal.

THE HELMETS mengingatkan kita pada film-film komedi yang menjamur pada tahun 1980an yang dibumbui oleh adegan-adegan mistis, seperti kemunculan hantu, dukun, benda bertuah, dan sebagainya. Film yang diselesaikan dalam tempo 4 hari ini merupakan karya kolektif teman-teman magang KRONIK FILMEDIA 2007 dengan dibantu beberapa anggota lama.

Rencananya film ini akan di launching pada acara 9th Anniversary KRONIK FILMEDIA yang diselenggarakan pada tanggal 3 Oktober 2007 di Gedung Widya Mitra Jl. Singosari 2 No.12 Semarang.

Selamat Datang Anggota Magang KRONIK FILMEDIA 2007 !!!

Selamat Datang di KRONIK FILMEDIA !!!
1. Nur Hikmatullaili
2. Wulan Rahmadhita
3. Muhammad Luthfan
4. Bagus Ariyanto
5. Kharisma Hilmi
6. Gema Ajie
7. Husninatul Ghassani
8. Dhita AJ
9. Dini Hajarrahmah
10. Tania Wijayanti
11. Novia Mahmuda
12. Puspa Damasita
13. Aryo Sudiantoro
14. Nova Regina
15. Yuanita Resti
16. Ratna Redina
17. Miftakhul Arif
18. Leideno
19. Anisa Fitriani
20. Asty Kusumaningtyas
21. Vania Arviyana
22. Tommas Kurniawan
23. Hapsari Citra
24. Riska Kurnia
25. Johan Adhitama
26. Nurafni
27. Arif Suryo Aji
28. Rinda Ayu Nurani
29. Anna Liana
30. Adrianus Abiyoga
31. Dian Hapsari

Enjoy The Club!!!

Monday, July 9, 2007


Welcome.....

About KronikFilmedia


KRONIK adalah sebuah lembaga yang berisi kumpulan orang-orang yang secara sadar dan rela untuk melakukan jukstaposisi isi kepala mereka untuk film-think(pemikiran sinema) sekaligus juga untuk melakukan gerakan2 yang berorientasi pada film itu sendiri.


KRONIK menganut prinsip ekstensialisme film berada pada dua arah yaitu dibuat dan ditonton. Segala bentuk kegiatan mulai dari merekam, mengedit, menulis script, menayangkan, menonton, agitasi bioskop, sewa vcd, membajak, meresensi, kurator-isme, festival, hingga menyewakan layar.


Orientasi film yang mempengaruhi KRONIK bukan (hanya) berada pada mainstream Hollywood, Hongkong, atau India saja, tapi kami mencoba untuk mengapresiasikan film pada koridor breakthrough, timeless, dan global


Secara sederhana KRONIK adalah komunitas film yang memiliki kegiatan mengapresiasikan film melalui kegiatan menonton, (belajar)bikin film, hingga penyelenggaraan kegiatan perfilman yang bertujuan memberikan hiburan alternatif dan edukatif. KRONIK didukung oleh koleksi film dari berbagai genre, negara, dan durasi, serta peralatan audio visual rekam maupun tayang.

==================================

KRONIK FILMEDIA

Jl. Singosari II/12 Semarang
Telp / Fax : (024) 8450491 (belakang kampus Sastra Undip,Jl.Hayam Wuruk)
Senin – Jum’at,pukul 10.00 – 15.30/Sabtu,pukul 10.00 – 12.30

email: kronikfilmedia@yahoo.com
friendster: www.friendster.com/kronikfilmedia

==================================