Sunday, October 28, 2007

Mari Menonton Sambil Berpikir Lewat Film Intelek*

Oleh : Imam Budiman

Kalau kita berkaca pada karakter penonton Indonesia, maka sesungguhnya telah tergambar jelas film seperti apa yang kebanyakan mereka sukai. Dalam beberapa tahun terakhir periode kebangkitan perfilman Indonesia, film yang banyak menghiasi layar lebar tanah air tidak jauh dari film bertema cinta atau komedi seputar kehidupan remaja, serta genre horor yang seolah tak pernah habis diproduksi sepanjang tahun. Intinya, kecenderungan yang ada adalah para produser berlomba-lomba membuat film yang sesuai dengan selera pasar (mainstream).
Hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena bila dikaitkan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang baru pulih, bisnis perfilman membutuhkan stimulus lewat dukungan para penontonnya agar dapat pulih kembali dari mati surinya. Walhasil, kebanyakan film-film Indonesia pun lebih banyak dijejali dengan tema-tema cerita yang ringan, mengedepankan unsur hiburan, monoton dan yang patut disayangkan, turut kehilangan kecerdasannya.
Sesungguhnya tidak ada yang salah jika penonton Indonesia kebanyakan lebih menyukai film yang lebih entertaining dibandingkan film-film bertema serius. Jangan salahkan pula bila mereka lebih prefer ke film-film popcorn khas Hollywood dibanding art film keluaran Eropa misalnya, toh penonton pastinya tidak mau ambil pusing dengan alur cerita njelimet yang ujung-ujungnya hanya membuat kita pusing dan menggerutu. Selama film ringan yang dimaksud tersebut mampu menyeimbangkan unsur komersial dan kualitas sehingga melahirkan tontonan yang bermutu, tentunya hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Sebagian besar film yang membanjiri bioskop-bioskop negeri baik produksi anak bangsa maupun dari luar semacam Hollywood adalah film-film komersial berkualitas cetek dengan tema cerita yang itu-itu saja. Yang lebih parah lagi, film-film intelek “kelas berat” yang notabene sudah diakui di berbagai ajang penghargaan malah dipandang sebelah mata dan terlihat dinomorduakan. Kalau penonton ngotot untuk lebih memilih film yang mampu menyajikan unsur art dan entertainment secara balance, hal ini tentu bukan perkara mudah. Menggabungkan unsur idealisme dengan nilai bisnis bagaikan mencampur air dengan minyak, seringkali terjadi benturan dan pertentangan. Berapa banyak sich film sekelas Lord of the Rings trilogi atau Gladiator yang dirilis setiap tahunnya? Lantas mau dikemanakan film-film intelek yang saya maksudkan tadi?
Lewat tulisan ini, saya akan mencoba membuka wacana berpikir bagi penonton awam bagaimana nikmatnya menonton sambil berpikir serta menangkap esensi yang terkandung dalam film-film intelektual. Dengan melihat lebih dalam akan nilai-nilai filosofis yang tersirat dalam sebuah film serta membuka mata akan eksistensi film-film yang bersifat non-linear, diharapkan agar penonton dapat memperoleh cara pandang baru dalam melihat dan menilai film. Film dalam konteks bukan sekedar media hiburan, tetapi kembali ke akarnya sebagai wadah seni untuk berekspresi serta memperoleh apresiasi sejati dari penontonnya.
Mengenal Film Intelek Lebih Dekat
Bila anda sering mengikuti berita seputar film beberapa bulan belakangan ini, maka film berjudul Crash tentunya tidak begitu asing di telinga anda. Sedikit menyegarkan ingatan, Crash baru saja dinobatkan sebagai film terbaik Oscar pada awal Maret lalu lewat sebuah kemenangan tak terduga. Bagi yang sudah menontonnya, pasti akan setuju jika Crash dikategorikan sebagai film intelek, film serius, film non linear, non mainstream atau apalah namanya. Satu hal yang pasti, meski film ini dipuji banyak kritikus, namun ternyata ia tidak begitu populer di mata penonton awam, apalagi di Indonesia. Crash adalah salah satu contoh dari sekian banyak film cerdas yang pada akhirnya terlupakan hanya karena banyak penonton kita yang tidak cukup cerdas untuk dapat menikmati tontonan berkelas ini.
Bila kita menonton film intelek dan sejenisnya, maka tiga komentar yang paling merepresentasikan reaksi penonton setelah menyaksikannya adalah (1) membosankan; (2) memusingkan dan (3) melelahkan. Pemikiran-pemikiran seperti ini terbilang logis karena untuk dapat menikmati—atau bahkan memaknai—suatu film yang kompleks secara sempurna memang bukan perkara mudah. Bila kita sebagai penonton tidak cukup jumawa dalam menafsirkan apa yang ditontonnya, kendala-kendala di atas pastinya akan sulit diatasi.
Saya sepenuhnya setuju dengan komentar Ekky Imanjaya sebagaimana termuat dalam artikelnya yang berjudul Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial?—bahwa sesungguhnya upaya penafsiran makna sebuah film berada sepenuhnya di tangan penonton. Dan oleh karenanya, sebuah film baru pantas disebut intelektual jika penontonnya pun cukup cerdas untuk memaknainya. Singkatnya, film intelek butuh penonton yang juga intelek untuk bisa eksis.
Film intelek adalah film yang membutuhkan kematangan dan kedewasaan berpikir dari penontonnya. Bila kita melihat perkembangan dan sejarahnya, film seperti ini lebih banyak tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa. Perfilman Eropa sendiri terkenal dengan iklim budayanya yang begitu mengakar, lebih bebas dan ekspresif.
Dengan iklim perfilman yang lebih bebas ini kemudian memicu lahirnya berbagai aliran/budaya film yang lebih ekspresionis dalam bertutur dan cenderung melawan arus (non-mainstream) dari pakem yang telah ditetapkan dalam membuat film konvensional. Hal ini pernah dilakukan oleh Orson Welles di Hollywood tahun 1940 ketika membuat Citizen Kane serta karya-karya spekulatif Stanley Kubrick. Mereka-mereka yang menjadi kreatornya adalah para pekerja seni yang masih murni mengedepankan mutu di atas segala-galanya. Di Eropa sendiri, kemudian lahir sineas-sineas jenius yang banyak menelurkan film-film masterpiece dan monumental. Para pekerja seni inilah yang membubuhkan identitas yang melekat kuat dalam film-film Eropa yang terkenal jamak melahirkan film-film intelek “kelas kakap”.
Bila kita sepakat mengenai hal di atas, maka nama-nama besar dedengkot film semacam Ingmar Bergman (Seventh Seal, Fanny and Alexander) ataupun Kryszytof Kieslowski (Dekalogue, Three Colors trilogy) rasanya tidak perlu diragukan lagi kualitas karyanya yang kental dengan simbolisme dan sangat filosofis. Di generasi kini ada nama Lars von Trier (Dogville), Alejandro Gonzales Inarritu (Amores Perrros) atau Pedro Almodovar (Talk to Her). Di Hollywood sendiri meki cenderung ngepop, namun masih ada sejumlah sineas underground yang tetap idealis seperti Quentin Tarantino (Pulp Fiction) yang nyentrik, Chritopher Nolan (Memento) dan yang lebih ekstrim seperti David Lynch (Mulholland Drive). Di Asia sendiri, nama Wong Kar-Wai (In the Mood for Love), si rabid dog Takashi Miike (Audition) serta Chan-Wook Park (Oldboy) adalah yang patut dikedepankan.
Kesemua sutradara tadi membuat film dengan lebih mengutamakan kepuasan batin mereka dibanding kepuasan pasar. Jadi jangan heran jika banyak karya mereka yang sulit dipahami dan butuh pemikiran ekstra untuk membongkar pesan-pesan tersembunyi dalam karya-karya mereka.
Ciri Khas Film Intelek
Bila anda jenis penonton yang telah terbiasa menonton film-film intelek atau bahkan sangat menikmatinya, maka pastinya anda sudah bisa menyadari bahwa ada semacam karakteristik yang melekat dibalik film berjenis ini. Bahkan bagi yang sudah banyak “makan garam”, hanya dengan melihat trailer-nya atau cover/judulnya saja sudah bisa ketahuan akan kemana arah film tersebut membawa penontonnya. Memang ada semacam pola yang identik dan seolah menjadi aturan tak tertulis dalam proses lahirnya jenis film yang satu ini. Ciri-ciri di bawah ini boleh dikata cukup mewakili seperti apa film intelek itu secara umum.
1. Gaya penggarapan/penyutradaraan yang sering tidak lazim dan kompleks, atau sering pula disebut dengan istilah non linear. Contoh: Memento (2000), Mulholland Dr. (2001).
2. Alur cerita yang umumnya tidak lurus, seringkali plot kisahnya menggunakan alur/dramalurgi flashback atau meloncat-loncat/maju-mundur. Dalam beberapa kasus malah ada film yang sangat susah dicerna proses loncatan waktu dalam ceritanya. Contoh: In My Father’s Den (2004) dan semua film arahan Quentin Tarantino.
3. Mengangkat tema cerita yang mengutamakan orisinalitas dan jarang diangkat ke muka umum. Seringkali cerita bahkan dibawa ke tingkat yang lebih ekstrim, nekat hingga mengundang kontroversi. Contoh: Irreversible (2003), Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004).
4. Karena kebanyakan dianggap kurang memiliki nilai jual, maka film sejenis ini diproduksi dan dirilis dengan dana/bujet berskala kecil (independen) dan lebih banyak “bergerilya” di ajang festival film dengan pemutaran terbatas ketimbang berkeliaran di bioskop-bioskop besar. Contoh: Donnie Darko (2001), Sideways (2004).
5. Ending adalah kunci dari film berjenis ini dan sekaligus yang sering dikeluhkan oleh penonton awam. Endingnya terkadang begitu mengejutkan, terkadang pula menggantung serta giat membubuhkan “tanda koma” di akhir film. Ending seperti ini tidak langsung memberikan kesimpulan/solusi, melainkan membiarkan penonton mencari jalan keluarnya sendiri. Dalam beberapa kasus yang menjengkelkan, film malah tidak memberi jalan sama sekali untuk menemukan jawaban. Contoh: Rashomon (1950), 2001: A Space Odyssey (1968).
6. Banyak memasukkan unsur simbolisasi, abstrak dan hal yang bersifat humaniora ke dalam gambar dan cerita. Film seperti ini biasanya memaksa kita untuk menonton film tersebut lebih dari sekali. Contoh: Red (1994), 3-Iron (2004).
7. Aktif melancarkan pesan-pesan bertema sosial serta kritik tajam seputar tatanan sosial. Contoh: Ghost World (2000), Elephant (2003).
Bagaimana Menikmati Film Intelek
Menikmati film intelek sesungguhnya memiliki keasyikan tersendiri, terutama bagi anda yang telah terbiasa menikmatinya. Bagi penonton yang lebih sering menikmati film-film yang lebih “normal”, mungkin inilah saatnya bagi anda untuk menjajal sesuatu yang baru dalam menonton film. Sedikit berpikir saat menonton tentu bukan sesuatu yang buruk khan? Beberapa tips di bawah ini saya pikir patut disimak bagi anda para penonton pemula.
1. Bila ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya, maka demikian halnya dalam menonton film intelek. Pertama anda harus punya niat dan kemauan yang kuat untuk menikmatinya. Siapkan otak anda untuk berpikir karena ini bukan film yang bisa ditonton sambil makan popcorn.
2. Sebelum anda menonton, ada baiknya jika anda terlebih dahulu membaca ulasan/preview film yang akan ditonton. Bukan apa-apa, terkadang menonton film seperti ini tidaklah mudah. Setidaknya anda sudah tahu bagaimana dan akan kemana film ini mengarahkan penontonnya. Tapi awas, jangan sampai merusak kenikmatan anda dengan membaca spoiler, karena spoiler inilah yang menjadi musuh besar seorang penikmat film.
3. Jika film intelek yang anda tonton tergolong kategori “benar-benar berat”, ada baiknya bila anda menonton sambil didampingi oleh orang yang lebih berpengalaman, setidaknya oleh orang yang sudah pernah menonton film tersebut sebelumnya. Jadi kalau anda menemui jalan buntu dalam memahami cerita, partner anda ini bisa mengarahkan anda agar tidak terjebak ke “dark side”. Tapi (lagi-lagi) awas, jangan sampai si partner keceplosan hingga membocorkan kejutan yang akan muncul. Maklum, inilah kebiasaan penonton yang terkadang sok tau.
4. Setelah menonton filmnya, hal yang paling bijak dilakukan oleh seorang penonton film adalah membuka diskusi atau bedah film bersama orang yang sudah menontonnya. Terkadang ada sejumlah film yang mengandung makna yang multi tafsir. Oleh karenanya lewat diskusi film, kita bisa sharing pendapat sehingga bukan tidak mungkin diperoleh tafsiran baru akan makna yang sebelumya tidak kita ketahui.
5. Membaca review dari para kritikus film. Kritikus film adalah penonton yang paling bijak karena mereka melihat film secara mendalam dan menyeluruh. Jadi tidak perlu ragu untuk membandingkan hasil penafsiran anda dengan ulasan mereka yang banyak dimuat di berbagai media cetak dan internet.
6. Kalau anda masih belum mengerti juga makna dari film yang anda tonton, jangan pernah ragu untuk menontonnya sekali lagi, dua kali bahkan berkali-kali sampai anda mengerti. Semakin anda membiasakan diri menonton film semacam ini, maka semakin mudah anda memahaminya. Sesungguhnya kemampuan kita untuk memahami suatu hal terbentuk dari pengalaman dan kebiasaan. Sekali lagi, jangan ragu untuk tonton dan tonton lagi!
Kesimpulannya, perlu ada perubahan dalam hal budaya menonton film di negara kita. Penonton kita sudah terlalu banyak dijejali dengan tontonan sinetron yang tidak logis dengan tema cerita yang sudah basi. Tontonan seperti ini sesungguhnya bukan pilihan yang tepat untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat kita. Yang paling saya khawatirkan, jangan sampai cara bertutur “dagang mimpi” ala sinetron ini turut merambah dunia perfilman kita yang baru bangkit. Bisa-bisa dunia baru yang telah dibangun para sineas muda kita jatuh ambruk lagi seperti awal tahun 1990-an gara-gara kemonotonan produksi film di masa itu.
Namun saya bersyukur karena masih ada sejumlah sineas kita—walaupun sedikit jumlahnya—yang tetap mempertahankan idealismenya seperti Nia Dinata (Berbagi Suami), Riri Riza (GIE) dan sutradara panutan saya, Garin Nugroho (Daun di Atas Bantal). Lewat tangan emas mereka, film intelek akan tetap hadir mewarnai belantika perfilman Indonesia. Film yang mengajak kita untuk lebih peka dan berpikir kritis di tengah langkanya tontonan bermutu di tanah air.
NB : Artikel ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan penulis terhadap budaya menonton film di negaranya.
* artikel ini diambil dari situs www.layarperak.com

Sunday, October 21, 2007

Masa Depan Film Indonesia : Sekolah Film vs Komunitas Film*

Oleh: Ifa Isfansyah**

Berbicara tentang masa depan pasti berawal dari sebuah kelahiran. Film dilahirkan oleh seorang pembuat film. Darimanakah seorang pembuat film lahir? Di beberapa negara yang industri filmnya kita anggap maju bisa dipastikan mempunyai beberapa sekolah film yang bagus. Permasalahan muncul di saat negara kita mempunyai banyak anak muda yang sangat konsen untuk menjadi seorang pembuat film tetapi hanya memiliki jumlah sekolah film yang sangat terbatas.

Sedangkan untuk membuat sebuah film yang berkualitas benar-benar dibutuhkan belajar, baik secara teknis maupun non-teknis. Keadaan semacam ini menyebabkan dan mengharuskan para calon penerus perfilman Indonesia ini untuk survive.

Maka tumbuhlah sebuah fenomena: komunitas film! Quentin Tarantino dengan sangat cepat segera diangkat menjadi dosen, bahkan merangkap rektor. Saat buku-buku tentang produksi film sangat jarang dan mahal, DVD bajakan akhirnya menjadi kurikulum utama. Setelah menjalani proses kuliah di ruang-ruang diskusi, film akhirnya dihasilkan dengan sangat tidak akademis. Ide-ide brilian dan film-film yang bervariasi menghiasi komunitas demi komunitas yang jumlahnya makin bertambah banyak seiring dengan banyaknya film berkualitas yang dibajak. Tidak ada lagi istilah story board, floor plan, director’s treatment, dramatic structure, shooting schedule, breakdown apalagi production design. Semua dihancurkan karena ketidaktahuan.

Pembuat film yang terlahir dari komunitas film semakin bertambah banyak. Sekolah film akhirnya semakin menjadi “musuh” para pembuat film. Akan tetapi komunitas film hanyalah komunitas film, tidak bisa berbuat banyak saat industri film (baca:produser) masih saja tetap mengacu ke sebuah film yang “akademis”. Bahkan pemerintah semakin asyik dan tidak menyadari bahwa dunia film telah mengalami revolusi besar-besaraan.

Ketidakjelasan dan kebingungan karena banyaknya cara untuk menjadi seorang sutradara dianggap positif. Ide-ide yang gila dengan eksekusi yang ngawur dianggap sesuatu kelebihan. Bahkan semakin menyalahi aturan karena ketidaktahuan dianggap sesuatu yang cerdas. Perubahan yang tidak segera disikapi ini membuat semuanya serba menjadi tanggung. Komunitas film menjadi bingung bagaimana cara untuk menjadi bagian dari masa depan perfilman Indonesia. Sekolah film pun juga semakin menjadi masa lalu dari sejarah perfilman Indonesia. Perkembangan dan masa depan film Indonesia akhirnya menjadi sesuatu yang sangat tidak terencana, dibiarkan mengalir begitu saja dan entah akan kemana.

NB :

Ikut prihatin dengan dinonaktifkannya ASDRAFI Jogjakarta setelah peristiwa gempa bumi tanggal 27 Mei 2007. ASDRAFI adalah Akademi Seni Drama dan Film di Jogjakarta yang didirikan pada tahun 1955. Beberapa seniman yang pernah belajar di ASDRAFI antara lain Putu Wijaya, WS Rendra, Sapto Raharjo, Teguh Karya dan masih banyak lagi. Sebelum peristiwa gempa bumi di Jogjakarta, 8 orang masih tercatat sebagai mahasiswa ASDRAFI. Memutuskan untuk non-aktif setelah bangunan yang selama ini digunakan sudah sangat tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.

*artikel ini diambil dari situs www.filmalternatif.org
**sineas Yogyakarta, kontributor filmalternatif yang sedang tinggal di Korea.

Thursday, October 11, 2007

Segenap Pengurus dan Anggota KRONIK FILMEDIA Mengucapkan
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Sunday, October 7, 2007

9 ANNIVERSARY KRONIK FILMEDIA

Tahun ini di KRONIK ada acaranya yg lain dari biasanya, yaitu Perayaan Ulang Tahun KRONIK FILMEDIA yang ke 9. Acara ini diadakan pada tanggal 3 Oktober 2007 kemarin di Gedung Widya MItra. Rangkaian acaranya yaitu Pemutaran Film Belanda NYNKE, buka puasa bersama, dan Launching Film KRONIK FILMEDIA terbaru yang berjudul THE HELMETS beserta diskusi mengenai film tersebut. Dalam acara ini kita mengundang beberapa teman-teman dari komunitas film Semarang seperti Magic Hour, Kine FISIP UNDIP, dan sebagainya.

Acara dimulai jam 15.30 wib dengan Pemutaran Film Belanda NYNKE. Beberapa penonton cukup antusias menonton film ini, namun setelah beberapa lama nampak beberapa penonton yang keluar ruangan karena menurutnya filmnya membosankan dan ceritanya datar. Ditambah lagi dia sedang berpuasa sehingga agak kurang berkonsentrasi dalam menonton film. Acara selanjutnya yang sangat ditunggu-tunggu adalah buka puasa bersama. Diawali dengan pemotongan kue tart oleh ketua KRONIK FILMEDIA, Anto Setiawan. Dilanjutkan dengan pemaparan sejarah KRONIK FILMEDIA oleh Mas Seno Widya Mitra yang mengetahui sejarah panjang KRONIK FILMEDIA.

Setelah kenyang berbuka puasa, acara dilanjutkan dengan launching film terbaru dari kita, THE HELMETS plus diskusi mengenai film tersebut. THE HELMETS merupakan film yang sebagian besar crewnya merupakan anggota magang KRONIK FILMEDIA tahun 2007. Sebuah semangat yang patut diacungi jempol buat teman-teman magang KRONIK FILMEDIA 2007.
Setelah 9 tahun eksis dan melewati berbagai tantangan, semoga ke depannya KRONIK FILMEDIA lebih berkembang dan semakin solid.
Amin!!!